“kaum miskin itu menjadi miskin karena ruang kapabilitas yang kecil, mereka menjadi miskin karena tidak bisa melakukan sesuatu bukan karena tidak memiliki sesuatu”
(Amarthya Sen, Peraih Nobel Ekonomi 1998)
Perjalanan dari Lausanne (Swiss) ke Malangbong (Garut) melalui Jakarta sesungguhnya merupakan perjalanan melompat katak (leap frog) dari sebuah tempat yang dikenal sebagai jawara perekonomian dan salah satu negara terkaya di dunia ke daerah yang masuk peta daerah yang masih butuh dibantu secara perekonomian, tetapi inilah yang penulis alami menjelang mudik lebaran tahun ini, kembali sesaat ke kampung halaman setelah menyelesaikan studi yang melelahkan sebelum memutuskan akan berkiprah kembali di rimba Jakarta yang keras.
Untungnya perjalanan kali ini tidak berujung lama karena 6 jam waktu yang dahulu dibutuhkan dari Jakarta telah dipangkas hanya menjadi sekitar 4 jam saja berkat kehadiran jalan tol Cipularang-nyi (Cikampek-Purwakarta-Padalarang-Cileunyi) juga karena bertemankan sebuah buku yang relevan dengan perjalanan lintas kultural ini. Buku yang sangat inspirasional berjudul “You Can Hear Me Now: How Microloans and Cell Phones are Connecting the World’s Poor to the Global Economy”, yang ditulis dengan dukungan cerita yang mengalir, didukung data dan riset yang intensif oleh Nicholas P. Sullivan, yang baru diterbitkan pada awal medio 2007 ini.
Buku itu bercerita tentang sebuah kisah yang terselip dari pemilihan Muhammad Yunus sebagai pemenang Nobel perdamaian 2006 yang belum banyak orang yang tahu. Selain soal kredit mikro yang digulirkannya, diceritakan juga bagaimana sesungguhnya memberdayakan banyak penduduk dan mengurangi angka kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara pendukung. Salah satunya yang menarik adalah massalisasi telefon selular (selanjutnya kita singkat dengan nama HP) di berbagai daerah remote dan sentra-sentra kemiskinan. HP bagi wanita-wanita disini berfungsi sama seperti sapi bagi petani atau peternak, perangkat untuk mencari sesuap nasi. Kalau petani memanfaatkan kredit untuk membeli sapi yang akan dipakainya membajak sawah atau bagi peternak untuk menghasilkan susu yang sebagian pendapatannya dapat dipakai membayar cicilan kredit, maka HP telah memobilisasi para phone lady yaitu ratusan wanita yang berfungsi sebagai wartel berjalan bagi penduduk sekitar yang membutuhkan alat komunikasi dengan beragam kebutuhan, melakukan pengecekan harga bahan baku sampai dengan mengontak sanak saudara yang tinggal jauh di seberang lautan, hal-hal yang sepintas agak di luar bayangan kita karena jangankan HP bahkan telekomunikasi fixed line pun di desa-desa miskin itu belum semuanya menjangkau setiap rumah tangga, juga ditambah dengan wanita-wanita itu pun belum memahami berbagai macam fitur telefon selular, seperti apa itu SMS, MMS apalagi dengan 3G.
Tetapi disinilah hebatnya Yunus, selain seorang ekonom pembangunan dia adalah seorang pengusaha yang dapat kita golongkan social entrepreneur. Sosoknya yang sederhana itu berhasil mengadopsi cerita klasik untuk memotivasi para penjual yang sering kita dengar di berbagai workshop pengembangan diri. Sebuah kisah yang bercerita bahwa akan ada 2 tanggapan ketika 2 orang ditawarkan menjual sepatu di suatu sudut Afrika yang bahkan tidak mengenal apa dan bagaimana wujud sepatu. Orang yang pertama akan melihatnya sebagai kemustahilan karena “bagaimana mau menjual sepatu, kalau enggak ada satupun yang tahu makhluk apa itu sepatu” sedangkan yang kedua justru sebaliknya dengan lantang akan mengatakan ‘ Ini dia pasar yang saya harus garap, inilah kesempatan emas, karena belum ada orang yang tahu apa itu sepatu”.
Langkah kedua lah yang dipakai Yunus yang mengerti benar bahwa kemiskinan bukan saja soal akses terhadap uang sebagai modal yang kurang tetapi juga akses kepada informasi yang menjadi tulang punggung seseorang untuk beraktivitas mencari nafkah. “Isolation and lack of information are very serious obstacle to poverty eradication (Isolasi dan kekurangan informasi adalah penghambat utama penghapusan kemiskinan)” ujar Iqbal Qadir, CEO Grameen Telecom, seorang yang diberikan kendali menjadi salah satu nahkoda pengelolaan perusahaan selular tersebut padahal anak muda tersebut adalah lulusan Wharton dengan bekal pengalaman sebagai banker di Wall Street tetapi bersedia kembali membangun tanah airnya.
Bagi Yunus, Grameen Bank mungkin memiliki kontribusi terhadap si miskin , tetapi Grameen Phone lebih dari itu karena berdampak kepada seluruh perekonomian. Yunus yakin bahwa komunikasi antar orang yang mobile adalah kunci dari percepatan pembangunan lebih dari akses kepada keuangan.
Penulis hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, membayangkan betapa suksesnya prinsip “sekali dayung 2 3 pulau terlampaui” yang dilakukan Muhammad Yunus ini. Selain bisnis bank dan telefon selulernya telah berhasil berkembang luar biasa, juga kerja kerasnya mengupayakan pengurangan kemiskinan dan pemberdayaan wanita telah dihargai berbagai pihak. Lebih dari 50 penghargaan internasional yang dipuncaki oleh Nobel menjadi bonus yang tidak tergantikan oleh uang sekalipun. Hari-hari ini GrameenPhone telah memiliki 10 juta pelanggan, berhasil menghubungkan 100 juta orang melalui peranan 250,000 Phone lady yang dimilikinya dengan kerjasama strategis bersama NOKIA dengan proyek yang dinamakan dengan Village Phone Direct .
Dari perspektif kinerja perusahaan, GrameenPhone memiliki pendapatan sebesar I milyar Dollar dan keuntungan tahunan sebesar 200 juta Dollar. Berkat GrameenPhone, di Bangladesh rata-rata pendapatan para phone lady yang sebelumnya adalah para wanita miskin meroket menjadi 4 kali rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Bangladesh. Untuk itu Model Grameen Phone sebagaimana kredit mikro telah direplikasi ke berbagai negara seperti Filipina, Uganda maupun Rwanda.
Studi yang dilakukan sebuah universitas di London menyebutkan bahwa pertumbuhan sebesar 10% dari jumlah telefon selular dapat mengurangi kemiskinan hampir 2 kali lipatnya. Pada studi yang lain, ternyata dengan memberikan prioritas kepada wanita untuk menjadi phone lady membuktikan secara empiris menurunnya kekerasan dalam Rumah Tangga yang sering terjadi pada keluarga yang penghasilan yang didominasi oleh Pria
Kisah di atas telah memberikan inspirasi pada siapa saja, bahwa orang besar senantiasa berfikir beyond the boundary dan out of the box. Telekomunikasi seluler dan kredit mikro menjadi perpaduan yang sempurna tidak saja untuk menunjang pembangunan di suatu daerah tertinggal bahkan lebih dari itu meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi jumlah orang miskin.
Dalam beberapa menit, ketika buku sudah separuh diselesaikan, Bus ternyata akan segera sampai ke rumah masa kecil Saya, bertemu Ibu yang memutuskan hidup ndeso setalah Ayah “pergi”. Saya membayangkan dia adalah seorang phone lady di tengah kesibukannya menjadi micro lender (aka tukang kredit), profesi banyak orang di Malangbong yang berdekatan dengan kabupaten Tasik itu. Ibu tidak perlu lagi berjalan baberapa kilometer untuk mengunjungi klien-kliennya setiap harinya, tetapi cukup mengendalikannya dari rumah.
Ketika melihat beberapa saudara dekat yang masih sangat sulit perekonomiannya, contohnya Ceu Bebah yang seorng janda dan tidak mampu menyekolahkan semua anaknya karena alasan ekonomi dan saat ini sedang bingung setengah mati bagaimana mencari dana untuk operasi bibir sumbing bagi anak terkecilnya, saya tiba-tiba membayangkan Anwara Khatun, satu dari 250,000 Phone lady dalam buku tersebut yang tinggal di kawasan Chamurkan, Bangladesh. Wanita ini sebelumnya (kurang lebih 10 tahun yang lalu) benar-benar berada di bawah garis kemiskinan karena tidak bekerja semantara suaminya hanya seorang pegawai/buruh harian yang kemudian meninggal. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya adalah dia sekarang telah menjadi “juragan” kecil yang mampu membeli segala perabotan keluarga yang diperlukan sekaligus dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana bahkan si sulung saat ini telah menjadi ekspatriat IT yang bekerja di Singapura.
Apa yang dilakukannya untuk mengentaskan kemiskinan pribadi adalah membeli HP dengan kredit mikro menyewakan kepada siapapun yang memerlukan terutama para pria-pria pedagang sebesar 2 dollar /menit untuk telpon keluar internasional. 0.1 dollar/menit untuk menerima telefon internasional dan masing-masing 1 dan 0.05 Dollar setiap menitnya untuk telefon keluar dan masuk domestik. Dengan itu Anwara mendapatkan penghasilan 2000 dollar per tahunnya atau kurang lebih 4 kali lipat pendapatan pertahun masyarakat Bangladesh. Kisah sukses Anwara ini juga banyak dialami oleh Phone lady lainnya.
Hanya saja kembali lagi Saya berfikir ulang, di Bangladesh sana, salah satu keberhasilan program Phone lady karena ditunjang dengan kehadiran operator telefon lokal dengan pendirian salah satu anak perusahaan Grup Grameen, yaitu Grameen Phone yang mau memobilisasi sumber daya yang dimilikinya untuk mewujudkan mimpi-mimpi masyarakat kecil. Kalau di Malangbong, ataukah daerah-daerah miskin lainnya, adakah Iqbal Qadir-Iqbal Qadir baru yang mampu membangun mekanisme yang memungkinkan terjadinya mobilisasi penduduk desa agar dapat berkomunikasi dengan dunia luar sekaligus memperoleh pendapatan dengan muara mengeluarkan mereka dari batas garis kemisikinan, operator telefon yang berminat untuk menjadi grameen-grameen phone di Malangbong dan daerah-daerah remote lainnya, manjadi social enterpreuner bekerja sama dengan BRI misalnya untuk memberikan kredit telefon seluler sebagi prioritas utama selayaknya kredit-kredit lainnya , anyone?
cuma bertanya2:
– Yunus dulu sukses krn didukung pemerintah, belakangan karena didukung donor (USAID, World Bank, etc). nah, kalau tanpa subsidi itu, apa Yunus bisa sukses??? pertanyaan yg sama untuk BRI yg disubsidi habis2-an di era oil boom Indonesia.
– apakah wanita2 itu jadi lebih banyak duit krn kegiatan ekonomi keseluruhan meningkat dengan beban hutang stabil, atau krn meingkatnya konsumerisme (yg lain jadi lebih miskin krn nelpon) dengan hutang yang meningkat???
lihat kritik dari liberal spt Jeffrey Tucker (www.mises.org) atau dari aktifis development Sudhirendar Sharma dan Laxmi Murthy
Stop……..dont let Malangbong being a consumtive town…..boleh aja ikuti tekhnologi canggih dan berkembang…tapi ingat…..banyak sekali dampak negatifnya untuk kalangan yang tak paham pemanfaatan tekhnologi. 085223673344
sebelumnya aku ingin berikan selamat buat mas nugraha atas penghargaan yang telah dicapai di xl award. o iya aku jg orang malangbong lho mas 🙂 tp sekarang merimba di jkt. oiya sekedar mau nambahin aja sekarang ini Project Grameen Phone di Indonesia telah dimulai sekitar 2 minggu yang lalu dengan kolaborasinya bersama Bakrie Telecom (BTEL) yang melahirkan ‘Village Phone’. infona tiasa di tingali di http://www.bakrietelecom.com mugiya ngabantos…
Didukung atau tidaknya seorang Yunus oleh Pemerintah atau siapa pun dibelakangnya, yang jelas Bangladesh beruntung mempunyai seorang Yunus yang peduli sama rakyat kecil.
Teknologi memang selalu mempunyai dua sisi mata uang, semua kembali kepada orangnya. Yang jelas semua orang berhak untuk memilih. Internet masuk desa, televisi masuk desa, telepon masuk desa. Teknologi bukan cuma milik orang kota.
Yes, terlihat bahwa sebetulnya telekomunikasi punya peranan penting, sayang dijual ke asing atau yang ada pun hanya lebih ke jual beli license nantinya. Harapan hanya di program USO untuk pengadaan telekomunikasi di daerah terpencil.
Jalan, Power Plant dan Telco adalah kunci untuk ekonomi bisa bergerak, tidak seperti sekarang yang lebih banyak rentseeker.
Tulisan yang menginspirasi, hanya kalau boleh kritik mungkin data untuk teledensitas di Malangbong saat ini berapa ya he3
nice writing bung ubaidilah..
salam kenal..
“Perubahan adalah sebuah keniscayaan”. tidak ada seorang pun yang bisa membendung arus perubahan.
persoalannya adalah kearah mana kampung kita berubah.
ketika saya kecil, hidup di sebuah kampung sangat religius dan penuh dengan kekeluargaan (Kp. Bebedahan), semangat dan optimisme hidup begitu besar.
masuk usia remaja, mata saya dipaksa untuk melihat realitas kehidupan, bahwa “kampung kita” (Malangbong) tidak lebih populer dengan “kampung tetangga”, ciawi, TSM misalnya, misalnya kita lebih bangga berbelanja ke kampung tetangga dibanding kampung sendiri. Ada apa ini???. kemudian terjadi gejala imperiority compleks.
Ketika usia dewasa, mata saya kemudian dipaksa untuk terbuka lebih lebar dari sebelumnya,
pertama, sepertinya terjadi distorsi dalam pembangunan di kampung kita, PAD (pendapatan asli daerah) yang signifikan dan masuk ke kas daerah, misalnya dari retribusi kendaraan yang melewati kampung kita, dll, sepertinya tidak seimbang dengan kompensasi inprastruktur, salah satu indikasinya adalah mandegnya, wilayah yang dianggap kota, dari dulu batasnya segitu-gitu aja, sementara di beberapa daerah pinggiran banyak warga kita yang susah menikmati indahnya berjalan kaki.
Kedua, sembrawutnya penataan kota, saya merasa bahwa nikmatnya hidup di kampung kita harus bisa terasa oleh seluruh warga, jangan sampai ambiguitas warga yang mencicipi nikmatnya kampung kita justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan perkembangan kampung kita.
ketiga, keempat, kelima dan seterusnya, sepertinya kolom ini tidak terlihat indah jika semua penomena “anehh” pembangunan malangbong yang terekam mata saya ditulis di sini. dan saya pun tidak mau terjebak dengan “psikologi pesimistik”.
saya yakin bahwa “Muhammad Yunus-Muhammad Yunus baru” akan lahir dari kampung kita, selama tidak ada yang menghalang-halangi atas dasar kepentingan ekonomi individu atau kelompok tertentu.
Salam kenal buat kang ubaidillah…