Di pagi yang cerah di penghujung tahun 2006, kami kedatangan seorang tamu spesial , pemenang Nobel ekonomi 2005, Robert J. Aumann yang berkesempatan memberikan stadium generale di depan komunitas akademis dari berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, keuangan, fisika, teknik, sosial politik, bertempat di Universitas Lausanne, Swiss. Bahkan diluar komunitas kampus, di deretan depan, duduk beberapa pemuka agama, rabbi, pendeta dan ulama lokal yang kemudian tampak menyimak isi ceramahnya dengan serius.
Orang boleh mengenalnya dengan raihan Nobel Ekonomi melalui perluasan ”Game theory (GT)”, tetapi dengan mengembangkannya ke berbagai bidang seperti korporasi, keuangan, gender bahkan konflik antar negara yang berpretensi agama, membuatnya disimak oleh kalangan yang luas. Ditambah dengan penyajian yang segar, jauh dari sekedar pemaparan formula matematika sehingga seketika menghilangkan semua kesan serius, datar dan kering seorang ilmuwan. Aumann yang sepintas lebih mirip tokoh agama, hari itu benar-benar menjadi bintang panggung.
Presentasi pertama yang dilakukannya adalah bagaimana membuat ruang kelas berfikir bagaimana memaksimumkan kemungkinan matchmaking diantara wanita-pria yang meminimumkan potensi tingkat perceraian karena dengan mempelajari ekspektasi dan keputusan antar gender yang menjadi kajian dasar GT akan mengurangi resiko ”salah jodoh”, karena ekpektasi seorang laki-laki terhadap perempuan idamannya-melalui serangkaian strategi persaingan dan perkongsian-telah didekati sampai ke tingkat yang optimum begitu juga sebaliknya antara wanita kepada pria.
Rekan satu program yang berasal dari Lebanon, mengacungkan tangan menanyakan kembali kemungkinan teorinya tersebut dapat membantu menyelesaikan konflik Israel-palestina. Pertentangan abadi yang menyebabkannya harus ”mengungsi” sesaat, melanjutkan studi demi menghindari imbas konflik tersebut kepadanya negaranya yang merupakan basis musuh Israel, Hisbullah. Sekali lagi, Aumann masih mengiyakan kalau suatu ketika nanti akan terdapat optimalisasi aliansi antar negara yang berujung perdamaian.
Pertanyaan silih berganti dialamatkan kepadanya, yang menarik lebih dari separuhnya mencoba menggali bagaimana implikasi GT dalam dunia keuangan entah itu strategi korporasi, merger dan akusisi bahkan konsolidasi bursa efek global . Game Theory memang semakin luas aplikasinya di dunia keuangan, Bahkan perintis GT, John Von Neumann dan Oscar Morgensten telah terkenal luas dengan VNM (Van Newmann Morgenstein) Utility Function di dalam literatur buku teks keuangan modern terutama dalam menggambarkan teori dan analisa pilihan-pilihan investor dalam kondisi ketidakpastian.
***
Peristiwa di atas berkaitan dengan buku ”Esai-esai Nobel Ekonomi” terutama dari segi pemikiran ekonomi yang ternyata semakin lama semakin banyak berseliweran di dunia keuangan, kira-kira itulah yang menjadi salah satu tema sentral buku terbitan penerbit Kompas ini bagi penulis yang berlatar belakang dan bergelut banyak di dunia keuangan. Pas sekali dengan preposisi yang disampaikan melalui iklan penerbitannya di salah satu media ibukota, ”Buku ini menyajikan deskripsi tentang pemikiran-pemikiran pemenang Hadiah Nobel bidang Ekonomi di dalam memahami perilaku para investor di pasar uang dan pasar modal”.
Disajikan secara runtun dari pemenang-pemenang awal yang diwakili oleh ekonom-ekonom ortodoks-berdasarkan ungkapan Prof Daoed Jusuf dalam tulisan ”Jari yang Menunjuk Bulan”- yang diwakili oleh Jan Tinderbergen (1969) dan Paul Samuelson (1970) sampai yang ekonom modern pemanang hadiah ini yang terakhir trio Leonid Hurwicz, Eric S. Maskin, Roger B. Myerson (2007). Tampak jelas segregasi evolusi kajian keuangan yang terlihat semakin meluas dari waktu ke waktu masuk dalam wilayah penelitian para nobelis ini.
Meskipun tidak ditulis spesifik dalam buku ini, dalam jejak rekam sejarah kita bisa mencatat dua nobelis ekonomi sekaligus, Kenneth J. Arrow (1972) dan Gerard Debreu (1983) berkolaborasi menjadi pelopor dalam memperkenalkan AD (Arrow-Debrew Securities)-dalam kerangka General Equilibrium Theory- di awal tahun 50-an yang menjadi landasan dan cikal bakal instrumen derivatif, instrumen manajemen resiko yang semakin lama semakin dipakai untuk alat spekulasi saat ini . Hanya saja keduanya buat komite nobel lebih dikenal kontribusinya dalam mengembangkan hal lain, misalnya Arrow dengan ”teori pilihan sosial” (social choice theory) atau dikenal dengan ’Teori kemustahilan Arrow” (Arrow’s impossibility theorem).
Selanjutnya ada catatan menarik bahwa sebelum EMH (Efficient Market Hypotesis) populer melalui Eugene Fama, Friedrich August von Hayek, (1974) telah memiliki catatan panjang ketertarikan soal informasi asimetris yang menjadi salah satu penyebab kegagalan pasar yang menjadi roh dari teori EMH tersebut.
Kemudian muncul James Tobin (1981), pada topik keuangan yang tak kalah hangatnya akhir-akhir ini, hubungan aliran pelarian modal dan fluktuasi mata uang. Ia dengan Tobin Tax-nya menawarkan sebuah solusi perpajakan bagaimana mengurangi spekulasi pada mata uang sehingga dapat menjinakkan aliran modal yang liar dari satu negara ke negara lainnya dengan memberikan pajak sekitar 0.1-0.25% pada setiap transaksi mata uang asing lintas negara yang terjadi. Akan tetapi sekali lagi, bukan itu yang membuatnya meraih Nobel Ekonomi, tetapi lebih pada kontribusinya mengembangkan model ekonometri yang mendukung sosoknya sebagai ekonom Keynesian yang percaya intervensi pemerintah penting dalam menstabilkan perekonomian .
Setelah mereka, barulah dunia keuangan menemukan momentumnya dengan kehadiran Franco Modigliani (1982) yang kita kenal sebagai salah satu suhu Corporate Finance bersama dengan Merton Miller, melalui teori Modigliani-Miller yang coba menunjukkan bahwa nilai perusahaan tidak dipengaruhi baik oleh pendanaan ekuitas meupun melalui hutang. Inilah karya ekonom yang yang diganjar nobel dengan kontribusi utama di bidang keuangan atau dalam hal ini corporate finance.
Setelah itu begitu banyak nobelis ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung memenuhi ruang perjalanan teori keuangan modern. Salah satu yang dibahas di sini adalah Maurice Allais yang narasinya ditulis oleh Pieter P. Gero. Di tulisan ini, Pieter mencoba mengangkat sosoknya sebagai anak penjaga toko yang mungkin melatarbelakangi keperpihakannya terhadap pembangunan berorientasi kepentingan umum. Penulis di sini mencoba menambahkan bagaimana kiprah pentingnya untuk dunia keuangan.
Kalau di Amerika, nama Maurice Allais (1988), mungkin kurang terdengar maka di kelas pengajaran keuangan Eropa, Allais paradox bahkan menjadi pembuka mata kuliah keuangan modern yang mengupas habis teori preferensi investor dalam melakukan investasi yang menjadi pengantar sebelum memasuki konsep rational expectation. Coba simak paradoks berikut ini :
Li (x, y, θ)
L1 (50, 0, 0.1), L2 (100, 0, 0.09)
L3(50, 0, 1), L4 (100, 0, 0.95)
Dimana :
x = hasil investasi yang dapat diperoleh dengan probabilitas (peluang) θ
y = hasil investasi yang dapat diperoleh dengan probabilitas 1- θ
θ = peluang
Bahwa seseorang yang dihadapkan pada pilihan mendapatkan hasil investasi (payoff) 50 dengan kemungkinan memperolehnya 10% dibandingkan dengan payoff 100 dengan kemungkinan 9% ternyata sebagaian besar akan memilih pilihan kedua, paradoksnya adalah jika situasinya seseorang harus memilih mendapatan payoff 50 dengan resiko rugi hampir tidak ada (0) dan payoff 100 dengan resiko rugi hanya 5% saja, mereka akan justru mengarah cenderung memilih pilihan pertama.
Ini semua menggambarkan bahwa seseorang rela untuk mengambil resiko lebih besar ketika peluang untuk mendapatkan payoff yang lebih besar hanya perlu disertai oeh resiko yang sedikit lebih kecil, tetapi ketika peluang untuk rugi tidak ada, mereka akan cenderung untuk berada pada ”status quo”. Analoginya ketika kita dihadapkan dengan pilihan berinvestasi di deposito atau obligasi pemerintah misalnya dibandingkan dengan berinvestasi di saham pada saat krisis ekonomi tahun 1997 lalu. Anda tahu keputusan apa yang akan diambil.
Kemudian yang perlu kita catat selanjutnya adalah ekonom yang menjadi legenda dunia keuangan, Harry M. Markowitz (1990) dengan teori portofolio modern (Modern Portfolio Theory)- nya. Rasanya sudah cukup banyak cerita tentang tokoh ini di berbagai buku teks, sehingga kita bisa berpindah ke tokoh yang lain. Robert E. Lucas Jr. (1995) yang punya konsepsi ekonomi keuangan yang menarik.
Inilah ekonom yang mendapatkan 3 ulasan sekaligus, masing-masing dari Prof Dr Wan Usman, Anton Sanjoyo dan Ekonom par excellence yang penulis sangat hormati, Almarhum Dr Sritua Arief. Kalau Sritua Arif lebih banyak mengulas sisi teori rational expectation-nya maka Prof Wan Usman menambahkannya dengan kontribusi Lucas dalam pengembangan teori pasar keuangan yang efisien .
Yang bisa dicatat juga di sini terkait dengan paparan Prof Wan Usman adalah Lucas merupakan ekonom pertama yang mengembangkan CCAPM (Consumption Capital Asset Pricing Model) dengan teorema Lucas Fruit Tree-nya yang telah berhasil mempertajam teori CAPM lama – yang memiliki banyak keterbatasan dan hanya terbatas pada analisa satu periode tertentu saja – dengan pendekatan yang lebih stochastic, memperlihatkan keterkaitan secara dinamis antara tingkat konsumsi dan saving dari masyarakat dengan pilihan-pilihan instrumen investasinya di masa depan apakah obligasi, saham atau derivatif.
Melanjutkan kajian Arrow-Debrew tentang derivatif, Robert C. Merton, Myron S. Scholes (1997) kemudian memperkuatnya melalui Black Scholes option pricing model yang telah dikenal luas saat ini, melengkapi pembicaraan soal derivatif di panggung keuangan modern
Di tahun 2000an, Nobel ekonomi-keuangan diwarnai dengan aroma baru, intrusi disiplin ilmu psikologi. Penulis masih ingat ketika Prof. Peter Bossaerts (Caltech) menyajikan kuliah tamu soal psikologi investor melalui peragaan simulasi prospect theory yang berakar dari pemikir Daniel Kahneman (Nobel ekonomi 2002) dan diikuti sekitar 50 orang mahasiswa.
Hasilnya, terrnyata memang investor juga manusia biasa yang sangat dipengaruhi oleh ruang bawah sadarnya. Tidak heran dalam praktek, profesional keuangan kadang lupa sesaat aspek-aspek fundamental dalam menilai harga aset yang sebenarmya dikarenakan riuh psikologi pasar yang hingar bingar dan perlu gerak cepat yang sayangnya sering dicerna tanpa rasionalitas. Teorinya mendapatkan sambutan yang luas dari profesional keuangan, memunculkan banyak buku yang membahas teorinya dengan pendekatan keuangan, salah satunya adalah Investment Madness: How Psychology affecting investment and what to do about it (Nofsinger,2003)
Di ruang financial econometrics, Prof Yohannes Surya, sang pengusung ekonofisika sangat pantas disimak pemikirannya karena tidak sedikit yang kurang nyaman dengan keyakinannya bahwa Fisika telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Ekonomi. Bahkan kalau perlu, beliau perlu juga bisa menambahkannya menjadi financeconophysic karena ulasannya tentang ekonom Robert F. Engle III dan Clive W. J. Granger (2003) juga mengingatkan penulis atas jasa mereka dalam mengajak praktisi keuangan untuk memahami dan mengambil kesimpulan dari pola pergerakan data time series harga saham atau option di emerging market dengan menggunakan perangkat statistik yang lebih dari sekedar mean, median dan standar deviasi sehingga presisinya lebih terjaga, seperti heteroscedacity (ARCH = autoregressive conditional Heteroscedastic) dan ARMA (auto regressive moving average).
Dua selebritis Nobel berikut juga pantas disimak. Dibalik pemikiran Joseph E. Stiglitz (2001) yang kontroversial dan konfrontatif, terkuak pula minatnya terhadap dunia keuangan yang cukup besar, salah satu yang cukup dikenal adalah bukti empiris yang dikemukakannya seputar issue corporate finance, bahwa pendanaan melalui privatisasi entah IPO atau strategic sale relatif kecil dari pendanaan perusahaan secara kesuluruhan (lihat Greenwald, Stiglitz, 1993)
Kita tidak tahu secara jelas apakah Amartya Sen (1998) punya minat yang sama dengan para nobelis-nobelis lainnya di atas, tetapi penulis mmemperkirakan hal-hal seputar microfinance dan integrasi keuangan dengan pembangunan ekonomi bisa jadi menjadi salah satu perhatian Sen yang suatu ketika akan muncul ke publik dalam bentuk kajian.
***
Buku kumpulan esai nobel ekonomi ini begitu menarik bagi penulis, mungkin perlu tambahan berpuluh-puluh lembar halaman ulasan lagi untuk menuntaskannya. Buku ini benar-benar menggambarkan secara persis apa yang telah terjadi dalam dunia ekonomi selama dua dekade terakhir. Dekade dimana Nobel Ekonomi bisa sampai hampir separuh penerimanya didominasi oleh pemikiran ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan dunia keuangan. Di beberapa kasus bahkan telah terjadi dialektika di dalamnya. Benar sekali tinjauan Prof Dr Dorodjatun kuntjorojakti yang menggunakan perangkat dialektika Hegellian untuk memulai pengantarnya terhadap buku tersebut
Contohnya dilalektika yang terjadi mulai Ketika Maurice Allais mengemukan bagaimana pasar modal adalah medan random walk bagi investor yang sedikit demi sedikit dapat dipatahkan dengan teori Merton-Scholes, bahwa sebenarnya pergerakan di pasar saham itu tidak benar-benar random kalau kita memecah-mecah waktu dalam spektrum yang sekecil mungkin , bagaimana mengikuti pergerakan saham setiap detiknya. Sehingga sebenarnya pasar saham lebih tepat dikatakan medan yang unrandomly dynamic bukan sama sekali random. Terjadi proses these-antithese-sinthese di sana..
Mungkin di kemudian hari perlu dihadirkan Nobel untuk dunia keuangan karena akan semakin deras pengaruh pemikiran ekonom bagi dunia keuangan. Misalnya setelah behavoural finance Kahneman berhasil mencuri perhatian dunia, bisa jadi pendalamannya sekarang yang dikenal dengan Neuro finance –sebuah disiplin yang digeluti dengan menggabungkan ekonomi, keuangan dengan dunia kedokteran- akan menjadi calon penerima nobel berikutnya. Atau Ito dengan Ito’s lemma-nya dan Tanaka, kedua nama fisikawan Jepang bisa masuk dalam posisi kandidat karena berjasa mempertajam pendalaman teori derivatif yang sudah dirintis para pendahululunya dengan pengembangannya dari teori presisi roket.
Bukan salah ilmu ekonomi yang sering dijuluki ilmu yang murung itu kalau para pemikirnya terbetot perhatiannya pada dunia keuangan modern. Atau dalam praktek misalnya semakin banyak ekonom yang bergabung dengan industri keuangan. Ini semata karena daya tarik, kompleksitas dan dinamisme dunia keuangan sendiri yang mengundang tidak hanya bagi ekonom klasik tetapi juga para matematikawan, fisikawan, pakar komputer, psikolog bahkan dokter.
Dan bagi ilmu keuangan sendiri, sumbangan para ekonom terdahulu terbukti sangat besar untuk menciptakan dan menjelaskan berbagai fenomena ekonomi-keuangan saat ini dan di masa mendatang. Perkembangan pasar modal yang semakin deras pertumbuhannya, bahu membahu bersama sistem perbankan dalam menyediakan kebutuhan pendanaan dan simpanan bagi masyarakat, telah mendukung kerangka berfikir Hernando de Soto dalam Mystery of Capital bahwa ”dead asset” harus bisa dijadikan modal , karena ”dead asset” inilah yangmembuat negara berkembang tetap miskin, dan pasar modal memberikan ruang untuk itu.
Juga menjelaskan evolusi kondisi mengapa terjadi Instabilitas dan meningkatnya resiko sektor keuangan saat ini, yang terbukti menjadi pemicu krisis ekonomi secara keseluruhan di berbagai negara. Juga buku ini mendokumentasikan sekaligus menyisir asal muasal munculnya instrumen derivatif dengan Hedge Fund sebagai panglimanya. Itu semua adalah hal-hal yang sudah masuk dalam ruang akademis puluhan tahun lalu yang efek praktisnya baru kita rasakan belakangan.